Terima kasih telah mengunjungi kami, berkat Tuhan kiranya menjadi milik kita semua

Kita adalah hamba-hamba yang tak berguna Jika kita tidak bersama Tuhan

Selasa, 01 Februari 2011

SELAYANG PANDANG DESA NAMO RAMBE

Oleh: Dinis Ginting

Tempat aku dibesarkan oleh orang tuaku namanya Desa Namorambe. Hingga aku menamatkan pendidikan sekolah lanjutan tingkat atas di Pangkalan Brandan aku masih terus pergi dan pulang ke Desa ini. Kini aku tinggal jauh di ibukota negara Jakarta. Seiring waktu dan pekerjaan dan bertumbuhnya anak-anakku menjadi besar, aku semakin jarang kembali ke Desa-ku Namorambe. Namun beberapa catatan yang masih aku ingat tentang desaku ini adalah............ Desa-ku Namorambe memiliki luas 389 ha, merupakan sebuah desa sekaligus sebagai ibu kota Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang. Namorambe berada pada 51-427 meter di atas permukaan laut dan kemiringannya antara 4º - 7º. Memiliki iklim tropis dengan suhu udara antara 18º - 36º C.
Pusat Pemerintahan Kecamatan Namorambe menyatakan tanah disini sangat cocok sebagai lahan pertanian. Sebagian diusahakan sebagai lahan tanaman pangan dan lahan perkebunan. Disini juga terdapat 3 aliran sungai yaitu Sungai Petani, Sungai Bahorok dan Sungai Deli. Dari desa ini dipasarkan, seperti buah-buahan, beras, palawija dan sayur-sayuran ke Kota Medan yang jaraknya hanya berkisar 30 Km saja. Batas wilayahnya terdiri:
- Utara : berbatasan dengan desa Kuta Tengah
- Selatan : berbatasan dengan desa Tangkahan
- Timur : berbatasan dengan desa Namo Landur dan Gunung Berita
- Barat : berbatasan dengan Kecamatan Pancur Batu
Namorambe merupakan salah satu dari 36 desa yang menjadi bagian dari Kecamatan Namorambe, Kabupaten Deli Serdang.
Konon menurut sahibul hikayat dan berdasarkan cerita yang dituturkan secara turun-temurun, Namorambe berasal dari kata “Namo” dan “Rambe”. Namo artinya sebuah lubuk atau tempat berkumpulnya air sedangkan rambe adalah sebuah tanaman buah berbiji yang rasanya manis dan asam. Jika diartikan secara lengkap Namorambe yang artinya tanaman rambe yang tumbuh secara berkelompok dan banyak di satu tempat yaitu di daerah ini. Sedangkan tempat ini disebut “Kuta” (kampung). Inilah awal mula nama desa Namorambe. Mayoritas penduduk asli Namorambe merupakan masyarakat Karo dan sebagai bahasa sehari-hari menggunakan Bahasa Karo. Sementara masyarakat pendatang lebih banyak berasal dari wilayah Tapanuli, Simalungun, Jawa dan Nias.
Penduduk Namorambe tahun 2011 berjumlah sekitar 5011 jiwa, inipun karena sebagian dari penduduk desa ini keluar merantau ke Medan, Jakarta bahkan ke Mancanegara meninggalkan desanya untuk bekerja, sekolah ataupun menetap secara permanen. Ketika aku meninggalkan Namorambe pada tahun 1977 aku melihat kondisi wilayah yang sangat mendukung untuk usaha pertanian, termasuk orang tuaku juga bermatapencaharian sebagai petani/peladang. Demikan juga dengan penduduk Namorambe lainnya. Mereka pada umumnya menanam jenis tanaman pangan, seperti padi, jagung dan kacang-kacangan, serta sayur-sayuran seperti cabai, kacang panjang, timun, buncis, dan tomat. Selain itu, penduduk juga menanam tanaman keras seperti kelapa, cokelat, rambutan, durian, langsat dan lain sebagainya. Namun selain bercocok tanam penduduk Namo Rambe juga banyak memelihara hewan ternak, seperti sapi, kerbau, kambing, unggas, babi, dan ikan-ikan air tawar sehingga disini banyak ditemukan pemancingan. Bahkan penduduk setempat juga gemar memancing ke tiga sungai yang mengalir melalui kecamatan ini. Disisi lain banyak juga penduduk Namorambe yang bekerja sebagai pegawai negeri, wiraswasta, pedagang, dan buruh tani.
Dari penduduk Namorambe, kita menemukan sebuah tradisi yang masih dilestarikan hingga saat ini yaitu tradisi masyarakat Karo yang tergabung dalam kelompok para buruh tani yang disebut sebagai Aron. Aron adalah istilah Karo untuk menyebutkan aktifitas ataupun kelompok orang-orang yang
bekerja sebagai tenaga kerja sukarela atau yang diupah dalam bidang pertanian. Aron-aron ini dibagi dalam dua kelompok yaitu aron yang bekerja secara tetap (aron tetap) dan aron harian atau aron lepas. Ketika aku beberapa kali mengunjungi desa Namorambe, aku melihat sistem kepercayaan atau agama yang berkembang cukup pesat. Sebagian besar penduduk Namorambe menganut agama Kristen, baik Protestan, Advent maupun Katolik. Sebelum mengenal agama, masyarakat Namorambe mengenal sistem kepercayaan kepada roh-roh nenek moyang, dan benda-benda yang mereka anggap keramat. Bahkan aku sempat menyaksikan beberapa ritual yang dilakukan oleh penduduk desa ini ketika aku masih kecil dulu. Kepercayaan ini memang merupakan kepercayaan awal masyarakat Karo sejak jaman dahulu. Aliran kepercayaan ini disebut dengan istilah Pemena atau Perbegu.
Tingkat pendidikan penduduk Namorambe cukup baik. Lebih dari 50 % jumlah penduduknya mampu menamatkan pendidikannya hingga tingkat menengah atas, sarjana bahkan hingga Master. Ini cukup menunjukan bahwa masyarakat Namo Rambe sangat mengerti akan pentingnya pendidikan formal untuk meningkatkan sumber daya manusia masyarakatnya.
Inilah beberapa hal yang terkesan dan kuingat setelah aku pergi jauh. Semoga bermanfaat dan dapat memotivasi kita semua. Sebelum mengakhiri tulisan ini aku ingin mengajak kita semua, generasi muda, khususnya anak-anakku: “Isilah masa mudamu dengan banyak kegiatan yang bermanfaat, agar kelak di usia tuamu kamu dapat menceritakannya kepada anak cucumu, betapa hidup itu amat berharga, yang tidak mungkin dapat terulang lagi.”
Terima Kasih..... Tuhan memberkati

Tidak ada komentar:

Posting Komentar